TWENTY FOUR
-HIDDEN-
Pacific
Economic Senior High School, terpampang jelas nama itu di depan gerbang masuk
sekolah baru ku. Ya, hari ini adalah hari pertama aku menjadi siswa SMA. Tak
ada lagi teriakan gila Leo, tak ada lagi tubrukan kerasnya Leo yang setiap pagi
aku rasakan saat memasuki gerbang semasa SMP. Semuanya telah berubah menjadi
lebih baik, mungkin kali ini Leo tak akan bisa menjadi sasaeng ku lagi, aku
akan merasa aman jika benar seperti itu.
Ini hari pertama ku berpisah sekolah
dengan Leo, itu karena Leo mulai bersekolah di Sains International School.
Sekolah kami memang tidak berjauhan, kami tetap di satu kota yang sama, hanya
saja berbeda lokasi. Bahkan kami pun akan tetap pulang bersama, Leo akan
menungguku di station kereta saat pulang sekolah, ataupun sebaliknya.
Aku melewati hari hari ku dengan
kegiatan belajar seperti biasa, hanya saja kali ini tak ada lagi seseorang yang
berteriak di jendela samping ku saat bel istirahat berbunyi, bahkan kegiatan
istirahat ku kini menjadi normal, tak ada lagi kabur panjat tembok sekolah
untuk makan siang di luar sekolah, atau hanya duduk duduk di ruang seni sambil
menyalakan music sekeras mungkin. Ini seperti bel berbunyi, berjalan menuju
kantin, mengantri makan siang atau membeli beberapa makanan, setelah itu masuk
kelas dan selesai. Itu menjadi terasa begitu membosankan.
Sore ini Leo tak bisa pulang bersama
ku, karena Leo sedang mengikuti persiapan olimpiade sains tingkat nasional di
sekolahnya. Kurasa ketika ia masuk sekolah itu, otak gila dia semakin menjadi
jadi, belum menginjak 1 bulan disana Leo sudah berkontribusi terhadap
sekolahnya. Apa kabar aku yang stuck ditempat tanpa pergerakan apa pun ini? Aku
semakin merasa tak berguna. Beberapa hari lalu, Leo menasehati ku “kembangin
tuh ukiran!” singkat memang dan aku pun ingin mencobanya. Tapi aku sedikit tak
percaya diri dengan karya ku karena biasanya Leo mengatakan “Cuma gitu doang?
Teman kelas ku ada yang lebih jago” tak berkritik tak memberi saran, yang ada
ia hanya berkomentar semenyakitkan itu.
Sore ini niatku akan menunggu Leo di
kafe depan sekolah nya. Tepat di Café Toffe aku menunggu hampir 2 jam, aku
selalu melihat kesebrang jendela kafe karna tepat disanalah gerbang sekolah Leo
berada. Sudah 2 minggu ini kami tak pulang bersama, karena itulah aku
memutuskan untuk menghampiri Leo seperti sekarang ini, sesekali aku pun ingin
menyampaikan dukunganku secara langsung untuk olimpiade sains nya.
“tok tok tok..” aku terkaget saat
mendengar ketukan jendela yang berada tepat disamping ku. “Leo” kataku dalam
hati, seketika aku tersenyum saat melihat senyuman Leo sambil melambaikan
tangan di balik jendela kafe. “Kambing!!” teriak Leo yang baru saja memasuki
pintu kafe sambil menghampiri ku. Memalukan memang manusia satu ini, apa dia
begitu cuek terhadap lingkungannya hingga tak sedikit pun merasa malu dengan
tingkah konyolnya itu. Sesaat ia duduk di depan ku, ia mengisyaratkan sedang
dalam keadaan haus, saat itu aku hanya menganggukkan kepala ku, namun pada
akhirnya setelah ia memanggil pelayan kafe, ia membeli 1 cangkir kopi 1 botol
minuman dingin dan 2 kue coklat. “atas nama Mina” kata tambahan yang ia bubuhkan
sesaat setelah ia selesai memesan. Aku hanya menganga karena hanya ada 1 gelas
jus alpukat yang di atas meja ku, itu menandakan bahwa aku sedang tak ingin
mengeluarkan banyak uangku. Dan aku meyakinkan satu hal, bahwa yang harus
membayar pesanan Leo tadi adalah aku. “Stupid Boy” dalam hati ku sambil
menggerutu karena kesal dengan tingkah gila Leo.
Sudah sekitar 1 jam kita berdiam di
kafe ini, tak banyak aku berbicara saat ini, aku hanya mendengarkan ocehan Leo yang
bersemangat menceritakan tentang lingkungan barunya. Tapi ada satu hal yang
membuat ku kesal, Leo memberitahu ku bahwa ia akan mengikuti olimpiade sains
nasional dengan 1 teman barunya, bahkan ia memberi tahuku nama temannya itu,
Yuki. “kita tak satu kelas, tapi kita berada di jurusan yang sama. Ia wanita
yang cantik, dan dia begitu percaya diri.” Tutur Leo yang mengenalkan teman
wanita nya itu kepada ku. Aku merasa sedikit cemburu. Tunggu, mengapa aku
cemburu? Aku tak cemburu, aku hanya sedikit kesal. Tidak tidak aku hanya tak
suka ia membanggakan orang lain, ia bahkan tak pernah menilai ku dengan baik,
mengapa ia begitu baik dengan wanita itu. Aku tak cemburu, aku hanya tak suka.
“sudah sore, ayo kita pulang” ajak ku
saat aku mencoba memotong pembicaraan Leo yang sedang menceritakan tentang
Yuki. Seperti biasa, saat diperjalanan Leo akan terus mengoceh membicarakan hal
yang tak penting, tapi kali ini ia sama sekali tak membicarakan soal Yuki itu
seperti di kafe tadi, setiap ia bercerita tentang satu hal ia akan bertanya
pada ku, “apa kau mengikuti ekskul seni lagi?”, “apa kau merasa senang ada di
kelas?”, “apa sanggar tari disana memiliki ruangan yang bagus?”, “apa kau
menemui guru killer disana?”, “kurasa tak ada pria seganteng aku disana, iya
kan?”, aku hanya menjawab ya, mungkin, dan tidak tanpa menambahkan opini ku.
Hingga akhirnya aku terdiam saat mendengar pertanyaan mendadak Leo, “apa kamu
cemburu dengan Yuki?”, aku tak menjawab apapun kecuali terus berjalan di depan
Leo. “hahaha… setampan apapun aku ini, kurasa kau memang membenci ku.” Sautan
Leo sambil tertawa dan merangkul ku dari belakang. Bukannya aku tak mau
menjawab, aku hanya bingung harus jawab apa, dan dengan opini Leo yang terakhir
itu, aku tak yakin itu benar atau salah. Yang aku yakin, aku hanya tiba tiba
ingin menyusul Leo ke sekolahnya, tapi entah apa alasannya, aku hanya tak ingin
pulang sediri saja.
Mungkin Leo merasa lelah terus
mengoceh, setelah ia bertanya apa aku cemburu, ia tak mengoceh lagi seperti
tadi, ia hanya berdiam sambil melirik sana sini. Kurasa ini pertama kalinya ia
merasa lelah. “kapan kau mulai olimpiade nya?” Tanya ku untuk memecahkan
kesunyian perjalanan ini, “3 hari lagi” jawab Leo dengan singkat. Tak terasa
perjalanan pulang kami sudah sampai depan rumah ku, aku akan bergegas masuk
rumah dan berpamitan dengan Leo. “Ya! Aku akan segera masuk, hati hatilah di
jalan, kurasa kemarin malam aku melihat anjing baru yang berkeliaran dekat
rumah mu.” Pamit ku, seperti biasa tanpa mengucapkan selamat tinggal. “apa kau
melupakan sesuatu?” Tanya Leo saat aku hendak memasuki pagar rumah, aku lantas
berpikir apa yang aku lupakan hingga Leo bertanya seperti itu, apa aku
melupakan sesuatu, kurasa aku tak meninggalkan apapun. “aku tak menitipkan
apapun kan pada mu?” Tanya ku pada Leo, “Tidak!! Hanya saja kau lupa betapa
tampannya aku ini.” Sambil tertawa ia hanya memberi jawaban lelucon itu.
Sialan, mengapa aku mudah sekali tertipu olehnya. Aku sedikit kesal karena ia
tak ada hentinya berbuat gila padaku, hingga akhirnya aku mendengar teriakan seorang
pria yang sepertinya aku kenal saat aku hendak memasuki pintu kamar ku, “Kita
hanya teman!!”. Aku tak paham maksud perkataan pria itu, kupikir kita memang
teman kan?.
Kurasa hari ini terasa lebih lama, aku
merasa aga lelah mala mini, mungkin karena saat ku pulang sekolah tadi aku
langsung pergi ke sekolah Leo. Setelah aku meberekan alat sekolah ku, aku
bergegas mandi, saat aku sedang berendam aku merasa ada sesuatu yang mengganjal
pikiran ku. Aku mencoba berpikir lebih keras, apa yang sedang mengganjal
pikiran ku ini, aku merasa sesuatu yang berbeda. Setelah selesai mandi, aku
bergegas membaringkan badan ku di tempat tidur, karena ini terasa begitu lelah.
Sesaat hendak tertidur, hati ku dengan lembu mengatakan “aku merasa lega telah
bertemu Leo hari ini.” Dengan sigap aku membuka mataku setelah menyadari, apa
yang baru saja hati ku katakana. Aku terdiam dan melamun seketika, disisi lain
aku beranggapan bahwa opini itu benar, tapi bagaimana aku bisa merasa lega,
kita memang seperti itu biasanya. Aku terbangun dan membuka gorden jendela
kamarku yang tepat ada disamping tempat tidur ku, aku melihat banyak bintang
yang sedang menemani bulan disana, indahnya langit malam itu. Aku hanya ingin
sedikit jujur, aku selalu merasa aman saat ada di dekat Leo. Mungkin itu karena
Leo adalah sahabat terbaik ku. “oh tidakkk!! Aku lupa memberikan semangat pada
Leo”, “sepertinya Leo sudah tidur”.