Minggu, 19 Januari 2025
Masih awal tahun ya...
Tapi hari ini aku tau, ternyata aku masih belum sebaik itu untuk hidup di dunia.
Dengan adanya kalimat "lebih baik sama suami"
Menyadarkan aku bahwa ternyata ayah lebih baik ada, dibanding adanya aku.
Iya memang begitu,
Dibanding dengan keinginan aku ikut pergi sama ayah, aku lebih baik bertukar nyawa.
Sebab aku memang gak sebaik itu untuk hidup dan menghidupi.
Banyak orang bersyukur dengan keberadaan ayah, bahkan sampai saat ini.
Tapi aku, bahkan sampai saat ini aku masih mencari insan mana yang bersyukur
Dengan adanya aku.
"Kalo ade gak ada, mamah gimana?"
Mungkin ia terbiasa dengan kalimat itu.
Bukankah dengan pertanyaan sederhana itu cukup membuktikan,
Bahwa ada insan yang bersyukur akan keberadaannya?
Namun rasanya, aku tidak pernah mendapatkan kalimat itu
Dari sisi kehidupan manapun.
"Apa ada insan di bumi ini yang juga takut akan kepergian aku?"
Pada akhirnya, justru aku yang terus bertanya pada semesta.
Aku gak tau harus se sempurna apa agar menjadi manusia yang ditakutkan kepergiannya.
Aku gak tau harus sebaik apa agar menjadi manusia yang divalidasi perjuangannya.
Sejujurnya aku juga lelah menjadi manusia "baik".
Berjuang menjadi "pintar" di sekolah agar gak nyusahin siapapun saat lanjut pendidikan.
Berjuang menjadi "aktif" di organisasi agar mempermudah mencari kerja dan gak mengandalkan siapapun.
Berjuang menerima takdir menjadi "tulang punggung" agar bisa berkontribusi menghidupi yang ada.
Berjuang ngubur semua "mimpi dan cita2" agar gak membebani insan manapun.
Dan bukankah, menahan segala keinginan sendiri dan hasrat memenuhi keperluan sendiri demi bisa membagi waktu dan materi untuk yang harus dihidupi, itu juga bagian dari perjuangan?
Sesederhana bertahan di tempat yang banyak bikin stress dengan beban kerjanya, hanya agar bisa dapet makan siang gratis selama jam kerja, supaya sisa uang bulanan bisa cukup buat keperluan lain dan gak ngebebanin yang lain. Itu juga bagian dari perjuangan?
Sekonyol gak mau ngasih tugas ngurusin kupon BBM ke orang lain, padahal kerjaannya cukup memberatkan, hanya agar bisa dapet kupon BBM gratis dan mengurangi beban pengeluaran, itu juga bagian dari perjuangan?
Pada akhirnya aku sadar,
Ternyata ambisi aku menjadi orang yang ingin "terpakai" di organisasi sekolah dan kerjaan,
adalah salah satu respon dari keinginan aku akan adanya manusia yang mungkin takut akan "kepergian"aku.
Sesederhana "takut tak ada yang bisa mengerjakan A, karena kepergian aku", "takut tak ada yang paham tentang B, karena kepergian aku".
Lucunya, kupikir keluargaku juga berpikir begitu.
Jika syarat menjadi manusia itu harus menjadi sempurna dimata ibu,
Bukankah memang sebaiknya aku mati?
Terlalu durhaka dan tidak bersyukur,
Terlalu memberatkan dan tidak membantu,
Terlalu egois dan tidak punya sopan santun.
Akupun mempertanyakannya, "Mengapa manusia setidak baik aku, seburuk aku, setidak sempurna aku, masih diberi kesempatan hidup? jika memang keberadaan aku hanya beban bagi orang terdekat, mengapa aku masih di adakan keberadaannya?"
Aku selalu berterimakasih pada diriku sendiri,
Atas segala rasa lelah yang aku terima,
Atas segala kesedihan yang berhasil aku usap,
Atas kekecewaan yang bisa aku damaikan,
Atas kaki yang masih mau berjalan,
Bahkan atas aku yang masih memilih bertahan hidup.
Aku bahkan selalu bersyukur dengan diri aku sendiri.
Dengan ketidak sempurnaan aku,
Dengan segala kekurangan-kekurangan aku,
Dengan tubuh aku,
Dengan isi hati dan pikiran aku.
Tapi mengapa bahkan orang terdekat, menjadi orang yang melihat aku sebagai manusia yang paling tidak pernah sempurna?
Jika kehidupan ke 2 itu memang ada, sepertinya aku akan memilih untuk tidak pernah terlahir.