TWENTY FOUR
-THAT'S RIGHT, I LIKE YOU-
“tuuttt…tuutt…” suara handphone ku
membuat ku terbangun sangat pagi hari ini, “oh telephone?” kata ku saat aku
baru saja terbangun dengan setengah sadar ku. “Kambingggg!!!”, suara itu sangat
ku kenal, Leo. Untuk apa ia menelephone ku pagi ini, kurasa ia akan menjahili
ku lagi. “kampret! Ini masih pagi tolong… kalo mau jahil liat waktu dong.”
Jawabku dengan sedikit nada tinggi memarahi Leo. “Apa kau lupa sekarang aku
akan mengikuti olimpiade?” Tanya Leo pada ku dengan nada yang rendah tak
seperti biasanya. “Ucapkan semangat pada sahabat cerdas dan tampan mu ini! Apa
kau tak mengharapkan aku menang? Setidaknya ucapkan semangat untuk ku, jika kau
sama sekali tak bisa datang melihatnya.” Pinta Leo padaku dengan nada yang aga
tinggi, sepeti balik memarahi ku. “ah aku lupa, bahkan malam itu aku lupa
mengucapkan semangat secara langsung untuknya” hati ku sedikit menggerutu
merasa sangat bersalah karena melupakan sesuatu pada malam itu. “oh aku lupa,
apa ini sudah waktunya kau mengikuti olimpiade? Kau tak memintaku untuk datang
melihatnya. Sepagi inikah kau mulai berlomba? Lomba macam apa ini?” jawabku
pada Leo, “ahh… semangatlah, aku tau kau memang memiliki otak yang gila, jika
kau menang di olimpiade ini, aku akan menyetujuimu sebagai Albert Einstein
generasi muda, pulanglah membawa piala kemenangan. Jangan kau buat terbangunnya
aku di waktu sepagi ini menjadi sia sia. Paham kau?” lanjutku memberikan
semangat untuk Leo. Aku tak pandai merengkai kata penyemangat, ku harap ia
benar benar bersemangat hari ini, bahkan aku sangat berharap ia akan menjadi
juaranya.
“tunggu saja.” Jawab Leo yang sangat
singkat dan langsung mematikan telephonenya. Mengapa ia begitu aneh, mungkin
hanya ada satu manusia di dunia ini yang seperti dia. Setelah telephone dari
Leo tadi, aku tak bisa tertidur lagi, ini masih terlalu pagi untuk aku bersiap
berangkat sekolah, bahkan langit masih begitu gelap. Aku memutuskan untuk
bermain di halaman rumah ku sambil menunggu waktunya untuk bersiap pergi ke
sekolah. Saat ku membuka pintu rumah ku, aku melihat kotak kecil yang berada di
depan pintu masuk rumah ku. “ah ini dari Leo.” Ya, kotak itu adalah pemberian
Leo. Semenjak kita berteman saat masih berada di tingkat pertama SMP, setiap 1
tahun sekali, dia akan memberikan kotak kecil yang berisikan 3 stiker 3D
berbentuk bintang berwarna warni. Ini adalah kotak ke 4 yang Leo berikan
padaku, ia bilang bintang itu adalah semangat yang ia berikan padaku sebagai
sahabat terbaik ku. Aku tak mengerti dengan begitu banyak hal konyol yang ia
lakukan, aku hanya menyimpan kotaknya dan menempelkan stiker stiker bintang itu
di jendela kamar ku. Kurasa itu sedikit berguna saat malam hari.
Pagi ini seperti biasa aku melewati
gerbang tanpa adanya sapaan dari Leo lagi, aku pikir aku merindukan momen itu.
Saat jam istirahat, aku berkumpul dengan teman teman sekelas ku. Aku berteman
dekat dengan sekelompok wanita di kelas, mereka berbeda dengan kelompok wanita
lainnya yang selalu membicarakan tetang percintaan atau alat make up, mereka
memiliki sifat yang cukup gokil menurut ku, mungkin tanpa mereka kelas ini akan
terasa membosankan. Untuk pertama kalinya, aku membuka orbrolan di kelompok
itu, berbeda seperti pembahasan biasanya, aku bertanya pada mereka tentang
perasaan aneh ku yang belakangan ini selalu menjadi pertanyaan besar bagiku.
Aku menceritakan semuanya pada mereka, dan mereka mendengarkannya dengan
serius, awalnya aku merasa tak yakin untuk menceritakan hal ini pada mereka,
karena kupikir ini adalah hal konyol yang tak perlu aku tanyakan pada orang
lain, tapi aku salah. “Kau menyukainya” sahut Minsoo salah satu temanku dengan
memotong pembicaraan ku. “ku pikir kau tidak hanya menyukainya, tapi kau sudah
mencintainya, hanya saja kau tak percaya diri untuk mengakuinya” lanjutnya
dengan nada yang serius. Teman ku yang lain pun meng-iyakan pendapat Minsoo itu, tapi apakah benar aku seperti itu?
Saat perjalanan menuju station, Leo
menelpon ku. “Kambing!! Tunggu aku di station”, setelah mengatakan itu ia
mematikan telephone nya. Aku menunggunya di toko roti yang berada di station,
lalu aku melihat Leo berlarian menghampiri toko ku ini. Saat sampai didepan ku,
ia memperlihatkan mendali emas yang ia dapatkan dari olimpiade sains yang ia
ikuti hari ini. “kau tak akan melanggar janjimu kan?” Tanya Leo padaku. Aku
sontak tersenyum karena marasa bahagia, “Siap!! Albert Einstein!!” jawab ku
lambing pemeberian ucapan selamat atas kemenangannya. Saat di dalam kereta, aku
berpikir mengapa aku sama sekali tak ragu menyebutkan hal seperti tadi. Ya,
biasanya aku tak mau mengiyakan apapun yang mebanggakan diri Leo, karena Leo
akan sangat bersemangat menyombongkan hal itu. Kurasa aku mulai menerimakan Leo
sepenuhnya.
“ah Leo, aku sudah terima bintang nya,
kurasa kau memang menganggap serius bintang bintang itu, kau sangat tepat
waktu.” Aku mencoba membuka pembicaraan dengan Leo. “ah agenda itu sudah masuk
dalam jadwal ku, bahkan aku menulisnya di kalender kamar ku setiap 1 tahun
sekali” jawab Leo. “rajin sekali, aku menyimpannya dengan aman. Aku menempelnya
di jendela ku” balasku pada Leo. “aku tau”, jawaban singkat Leo yang membuat ku
sedikit bingung, darimana ia mengetahuinya jika aku menempelkan bintang itu di
jendela kamar ku. “apa dia menyimpan cctv di kamar ku? Ia bahkan belum pernah
memasuki kamarku” Tanya ku dalam hati, dan bahkan aku tak berani menanyakannya
langsung pada Leo.
Sesaat sampai depan rumah ku,”aku
duluan ya, hati hati kau dijalan. Selamat tinggal.” untuk pertama kalinya aku
mengucapkan selamat tinggal sambil melambaikan tangan ku pada Leo. Entah
mengapa, ini berubah dengan sendirinya. Ku pikir aku memang mencintainya,
karena aku menyadari aku selalu merasa aman dan nyaman saat di dekat Leo. Hanya
saja aku malu mengungkapkannya, aku hanya tak ingin kita merasa terganggu
karena perasaan yang tiba tiba ini. Aku memang teman yang bodoh, mengapa aku
bisa sangat mencintai Yong Gi?.
Sejak saat aku mulai menyadari
perasaan ku, aku menjadi lebih ingin selalu berada di dekat Leo. Bahkan aku
mencoba mecari tau tentang kegiatan Leo di sekolahnya, aku mencoba berkenalan
dengan beberapa orang yang besekolah di Sains International School, untuk aku
jadikan sebagai biang informasi ku tentang Leo saat di sekolahnya. Memang cukup
gila, tapi aku memang tak mempenyuai keberanian untuk menanyakan nya langsung
pada Leo.
Saat ini, setiap jam pulang sekolah,
aku selalu menelpon Leo untuk memastikan kita akan pulang bersama. Bahkan saat
perjalanan pulang, aku menjadi seseorang yang berbeda. Aku seperti tertular
oleh Leo yang selalu menceritakan banyak hal saat perjalanan pulang. Mungkin
ini karena aku yang semakin dewasa dan sudah sangat lama mengenal Leo, hingga
aku menjadi lebih terbuka dengannya. Atau mungkin pula, ini karena aku yang
sudah sangat lama mencintai Leo, hingga akhirnya aku sudah sangat nyaman
berbagi cerita dengannya.
“ku pikir kau memang bartumbuh dewasa
dengan baik, Mina” sahut Leo padaku saat kami tengah duduk di sebuah taman kota
sambil meminum susu kotak yang dibelikan Leo. “apa?” Tanya singkat ku pada Leo,
“Park Mina yang sedang duduk disamping ku ini adalah Park Mina yang sangat
banyak bicara dan lebih ceria. Apa kau benar Park Mina si Kambing? Atau kau
adalah kembaranya? Jawab aku!!” dengan nada bentakan pada ku, Leo bertanya
kebenaran diriku yang sekarang sambil membalikan pandangannya pada ku. “Hyaa!!
Kau gila? Apa perubahan itu dilarang? Ini terjadi secara alami karna aku sudah
mulai dewasa. Ini sudah tahun ke 3 kita di SMA. Apa tak boleh aku menjadi
seseorang yang berbeda? Sebentar lagi kita akan memasuki jenjang kuliah, aku
ingin menjadi lebih terlihat pintar.” Jawab ku dengan sedikit membentak balik
Leo. Dengan santai nya ia bertanya balik
pada ku, “apa ini karna kau sedang mencintai seseorang?”, aku terdiam karena ku
berpikir apakah ia mengetahui perasaan ku. “kupikir kau tak dapat jatuh cinta,
hahahah” lanjut Leo dengan tawanya yang sangat kencang di telinga ku. “sialan
manusia ini selalu membuat ku kikuk” dalam hati ku dengn perasaan lega jika ia
memang tak mengetahui perasaan ku.
Entah mengapa, Leo terlihat begitu
penasaran dengan perubahan ku. Bahkan dia selalu bertanya tanya tentang siapa
sebenarnya pria yang aku sukai, aku tak bisa menjawabnya, bahkan aku tak
menjawab itu benar atau salah. Hingga akhirnya Leo bertanya “apa kau mencintai
ku?”, aku berbalik dan tertawa meremehkan pertanyaanya tanpa menjawab petanyaan
itu. Sayangnya hati ku tak bisa berkompromi dengan baik, ia mengatakan “aku
memang sangat mencintai mu.”